manusia hanya bisa berusaha, dan Allah lah yang menentukan

ya allah tuhanku

khusni mutamakin

kehidupan di dunia hanya sementara

khusni mutamakin

Jumat, 25 Juni 2010

Panduan Praktis “Menghitung Zakat”

Betapa indahnya Islam memilih kalimat zakat untuk mengungkapkan hak harta yang wajib dibayarkan oleh orang yang kaya kepada orang yang miskin. Secara etimologi zakat berarti pensucian sebagaimana firman Allah :”Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”. (Asy-Syams: 9). Dan zakat berarti memuji dan menghargai seperti firman Allah :”Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci”. (An-Najm: 32)

Zakat juga bermakna tumbuh dan bertambah sebagaimana dikatakan zakatuz zar’i artinya tatkala tumbuhan sedang tumbuh merekah dan bertambah. Semua makna di atas akan terlihat jelas tatkala seseorang telah menunaikan zakat sebagaimana yang akan kami jelaskan dalam kitab ini. Ulama syari’ah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah zakat adalah hak yang berupa harta yang wajib ditunaikan dalam harta tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu pula. Zakat adalah hak orang lain bukan pemberian & karunia dari orang kaya kepada orang miskin. Zakat adalah hak harta yang wajib dibayarkan dan syari’at Islam telah mengkhususkan harta yg wajib dikeluarkan serta kelompok orang yang berhak menerima zakat, juga menjelaskan secara jelas tentang waktu yang tepat untuk mengeluarkan kewajiban zakat.

Allah SWT memberi dorongan untuk berzakat dengan firmanNya :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103). Dan dari hadits Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda :”Sesungguhnya Allah menerima sodaqah dan diambilnya dengan tangan kanan-Nya lalu dikembangkan untuk seseorang di antara kalian, seperti seseorang di antara kalian memelihara anak kuda yang dimilikinya, hingga sesuap makanan menjadi sebesar gunung Uhud”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, hadits ini dishahihkan oleh beliau dari Abu Hurairah)

Rasulullah menjelaskan tentang bentuk siksa tersebut dalam haditsnya :”Tidaklah seseorang yang memiliki simpanan harta lalu tidak mengeluarkan zakatnya melainkan akan dipanaskan dalam Neraka Jahannam, lalu dijadikan lempengan-lempengan yang akan disetrikakan di punggung dan dahinya hingga Allah memutuskan perkara di antara hamba-Nya pada suatu hari yang dihitung sehari sama dengan lima puluh ribu tahun”. (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah). Pedih dan beratnya siksaan itu dikarenakan hak-hak orang miskin yang tertahan sehingga mereka harus merasakan kepedihan dan kesengsaraan hidup akibat dari ulah orang-orang kaya yang menahan zakat. Islam tidak hanya memberi sanksi di akhirat bahkan di dunia Allah memerintahkan kepada negara untuk mengambil dengan paksa harta zakat dari mereka yang menghalangi zakat.

Dan di antara kelebihan negara Islam adalah negara yang pertama kali dalam sejarah yang mengobarkan peperangan dalam rangka membela hak orang fakir miskin sebagaimana yang terjadi pada zaman pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan tegas beliau memerangi orang-orang yang menghalangi zakat. Zakat adalah peraturan yang menjamin dan memberantas kesenjangan sosial yang tidak bisa hanya ditanggulangi dengan mengumpulkan sedekah perorangan yang bersifat sunnah belaka. Tujuan utama disyari’atkan zakat adalah untuk mengeluarkan orang-orang fakir dari kesulitan hidup yang melilit mereka menuju ke kemudahan hidup mereka sehingga mereka bisa mempertahankan kehidupannya dan tujuan ini tampak jelas pada kelompok penerima zakat dari kalangan gharim (orang terlilit hutang) dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam bepergian kehabisan bekal). Zakat juga berfungsi sebagai pembersih hati bagi para penerima dari penyakit hasad dan dengki serta pembersih hati bagi pembayar zakat dari sifat bakhil dan kikir.

Adapun dampak positif bagi perekonomian antara lain mengikis habis penimbunan harta yang membuat perekonomian tidak normal, paling tidak akan terjadi inflasi tiap tahun sebesar 2½ %, dengan membayar zakat maka peredaran keuangan dan transaksinya berjalan secara normal dan akan mampu melindungi stabilitas harga pasar walaupun pasar terancam oleh penimbunan.

Pemasukan Zakat Dalam Islam :

- Zakat Mata Uang
- Zakat Utang Piutang
- Zakat Profesi
- Zakat Saham dan Kertas Berharga
- Zakat Perhiasan untuk Wanita
- Zakat Apartemen, Perkantoran dan Tanah Persewaan
- Zakat Perdagangan
- Zakat Hasil Bumi
- Zakat Peternakan
- Zakat Madu Tawon
- Zakat Barang Tambang
- Zakat Hasil Laut dan Perikanan
- Zakat Fitrah

1- Zakat Mata Uang

Jika harta seseorang senilai 85 gram emas atau 595 gram perak, dengan hitungan nilai pd saat dia mengeluarkan zakat sesuai dengan nilai mata uang negara orang yang membayar zakat, maka dia keluarkan zakatnya sebanyak 2½ %, setelah setiap putaran tahun hijriyah dan harta sampai senisab.

Suatu contoh: Seseorang mempunyai harta sebanyak Rp.10.000.000,-, setelah satu tahun putaran, maka dia harus mengeluarkan zakat sebagai berikut: Rp.10.000.000,- x 25/1000 = Rp.250.000,-

2- Zakat Utang Piutang

Jika seseorang memberi pinjaman kepada orang lain dan masa pinjaman berlalu beberapa waktu, maka menurut pendapat ulama yang paling mudah*1, orang yang mem beri pinjaman harus mengeluarkan zakat piutang dalam jangka setahun saja walaupun hutang tersebut berlalu bertahun-tahun.

Suatu contoh: Aiman memberi pinjaman uang kepada seseorang yang bernama Ahmad sebanyak Rp. 15.000.000,- dan pinjaman tersebut bertahan pada Ahmad selama tiga tahun, maka siapa yang wajib mengeluarkan zakat dan berapa jumlah zakat yang harus dibayar?

Yang berkewajiban mengeluarkan zakat adalah Aiman karena dia pemilik harta tersebut dan dia wajib mengeluarkan zakat dalam jangka setahun saja sebesar:
Rp.15.000.000,- x 25/1000 x 1 tahun = Rp.375.000,-

*1 Demikian itu adalah pendapat Imam Malik baik utang yang diharapkan pengembaliannya atau tidak dengan syarat tidak diakhirkan penyerahannya tersendiri dari zakat. Jika tidak, maka wajib mengeluar kan zakat tiap tahun yang telah berlalu dari masa hutang. Sebagaimana pendapat Ibnu Qasim Al-Maliki bahwa yang lebih hati-hati adalah mengeluarkan zakat piutang setiap tahun sepanjang masa piutang seperti pendapat madzhab Hambali.

3- Zakat Profesi

Jika seorang muslim memperoleh pendapatan dari hasil usaha atau profesi tertentu, maka dia boleh mengeluarkan zakatnya langsung 2½ % pada saat penerimaan setelah dipotong kebutuhan bulanannya atau menunggu putaran satu tahun dan dikeluarkan zakatnya bersama dengan harta benda lain yg wajib dizakati senilai 2½ %.

Suatu contoh: Seseorang memiliki harta yang dizakati setiap tahun di awal bulan Muharram, jika dia menerima gaji pada bulan Ramadhan, maka dia boleh memilih ketentuan di bawah ini: Mengeluarkan zakat profesi dari gaji bulan Rama-dhan tersendiri pada bulan itu *2 atau, Ditunda pembayaran zakat profesi digabung dengan harta yang lain dan dikeluarkan secara bersama pada bulan Muharram. Secara kaidah bahwa harta itu wajib dizakati sekali dalam setahun.

*2 Termasuk harta profesi antara lain gaji atau pendapatan dari suatu profesi atau keahlian, boleh dikeluarkan zakatnya tanpa menunggu putaran haul (tahun), tetapi tidak boleh dizakati dua kali dalam setahun.

4- Zakat Saham dan Kertas Berharga

Saham dan kertas berharga bila telah sampai nisab wajib dikeluarkan zakatnya bersama keuntungannya, seperti nisab mata uang dan kadar zakat sebesar 2½ %. Suatu contoh: Seseorang memiliki saham, pada saat mau mengeluarkan zakatnya, saham tersebut menurut harga pasar senilai Rp.50.000.000,- dan tiap tahun mendapat laba sebesar Rp.5.000.000,- sehingga jumlah harta keseluruhan sebesar : Rp.50.000.000,- + Rp.5.000.000,- = Rp.55.000.000,-.
Zakatnya: Rp.55.000.000,- x 25/1000 = Rp.1.375.000,-

5- Zakat Perhiasan Wanita

Pendapat tengah-tengah di antara pendapat para ulama adalah pendapat yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa beliau berfatwa tentang wajibnya zakat perhiasan sekali dalam seumur dan bukan setiap putaran haul (tahun)*4 , tetapi jika membeli perhiasan lain maka dia harus mengeluarkan zakat perhiasan yang baru dibeli itu dengan syarat barang tersebut hanya untuk perhiasan*5. Adapun peralatan dan wadah yang terbuat dari emas bila telah sampai nisab, maka harus dikeluarkan zakatnya. Suatu contoh: Seorang wanita memiliki perhiasan emas seberat 100 gram yang dipakai untuk perhiasan, bagaimana mengeluarkan zakatnya ?

Jawab: Wajib bagi wanita mengeluarkan zakat perhiasan tersebut sekali dalam seumur.
100 x 2½ = 25/100 gr. atau berupa uang senilai 2½ gr.

Jika dia membeli lagi emas untuk perhiasan seberat 100 gram, maka dia harus mengeluarkan zakatnya sebesar 2½ gram sekali saja seumur hidup.

*4 Pendapat ini terdapat dalam kitab Al-Muhalla 6/78 dan Sunan Kubra 4/138
*5 Kadar zakat yang wajib dikeluarkan baik emas maupun perak sebesar 2½ %.

6- Zakat Apartemen, Perkantoran dan Tanah Persewaan

(A). Barangsiapa yang memiliki apartemen, ruko atau tanah yang disewakan, maka dia wajib mengeluarkan zakat dari hasil penyewaan sebesar 2½ %, bila telah sampai nisab. Suatu contoh: Seseorang memiliki ruko untuk disewakan tahunan dengan nilai sewa sebesar Rp.20.000.000,- bagaimana cara mengeluarkan zakatnya ?
Jawab: Kadar zakatnya 2½%
Rp.20.000.000,- x 25/1000 = Rp.500.000,-

Catatan: Jika gedung tersebut belum ada yang menyewa maka belum ada kewajiban mengeluarkan zakat.

(B). Jika seseorang menjual gedung tersebut, maka dia wajib mengeluarkan zakat dari hasil penjualan sebesar 2½ %.

Suatu contoh: Seseorang memiliki tanah kosong kemudian dijual dan laku seharga Rp.100.000.000,- dan sebelum terjual tanah tersebut berada di bawah kepemilikannya selama tiga tahun tanpa mendapatkan keuntungan karena tidak ada yang menyewa. Maka dia wajib mengeluarkan zakat dari hasil penjualan saja dengan perincian: Rp.100.000.000,- x 25/1000 = Rp.2.500.000,-

Dan dikeluarkan cukup setahun itu saja sesuai dengan pendapat yg paling mudah.*6

Kaidah: Jika gedung atau tanah tersebut digunakan untuk keperluan pribadi tidak wajib dizakati.

*6 Demikian itu adalah pendapat dari madzhab Malikiyah, alasan mereka bahwa harta persewaan sebelum terjual tidak berkembang sehingga tidak harus dizakati. (Lihat Syarh Kabir dan Hasyiyah Dasuqi 1/457).
Dan untuk lebih hati-hati sebaiknya mengeluarkan zakatnya setiap tahun bila jelas tanah tersebut diproyeksikan untuk niaga.

7- Zakat Perdagangan

Seorang pedagang hendaknya menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong piutang. Kadar zakatnya 2½%.*7

Suatu contoh: Seorang pedagang menjumlah barang dagangan di akhir tahun dengan jumlah total Rp. 200.000.000,- dan laba bersih sebesar Rp.50.000.000,- sementara dia mempunyai hutang sebesar Rp.100.000.000,-.
Modal dikurangi hutang: Rp.200.000.000,- – Rp. 100.000.000,- = Rp.100.000.000,-
Jumlah harta zakat: Rp.100.000.000,- + Rp. 50.000.000,- = Rp.150.000.000,-
Zakatnya: Rp.150.000.000,- x 25/1000 = Rp.3.750.000,-

*7 Modal tetap tidak wajib dizakati seperti gedung, perkakas dan alat operasional perdagangan

8- Zakat Tanaman

Jika biji-bijian atau buah-buahan*8 telah sampai senisab yaitu lima wasak atau seberat +/- 670 kg, maka wajib dikeluarkan zakatnya 10% bila disiram dengan air hujan dan 5% jika menggunakan alat atau memindah air dari tempat lain dengan kendaraan atau yang lainnya. Suatu contoh: Seorang petani memetik hasil panen sebanyak lima ton gandum dan dua ton korma, maka berapa zakat yang harus dikeluarkan jika dia menggunakan alat penyiram tanaman ?
Zakat gandum: 5000 x 5/100 = 250 kg. dan Zakat korma : 2000 x 5/100 = 100 kg.

*8 Hasil-hasil pertanian selain biji-bijian dianggap sebagai buah-buahan, seperti sayur mayur segar dan buah-buahan masih dalam kelompok barang-barang niaga yg kadar zakatnya 2½ %. Meskipun Madzhab Hanafi berpendapat wajib mengeluarkan zakat setiap tanaman yang ditumbuhkan bumi sekadar 5% atau 10% sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

9- Zakat Peternakan

Jika seseorang memiliki lima onta, maka ia wajib mengeluarkan zakat seekor kambing dan jika memiliki tiga puluh sapi, maka dia harus mengeluarkan tabi’i (sapi yang berumur setahun). Jika memiliki kambing empat puluh, maka dia wajib mengeluarkan zakat seekor kambing. Apabila jumlah hewan ternak lebih dari hitungan di atas, maka cara mengeluarkan zakat seperti pada tabel di bawah ini:
Selain hewan yang tersebut di atas masuk dalam kelompok barang niaga bila diproyeksikan sebagai barang perdagangan.

Tabel Zakat Kambing

Dari Sampai
040 sampai 120 nisabnya – 1 Kambing
121 sampai 200 nisabnya – 2 Kambing
201 seterusnya nisabnya – 3 Kambing

Kemudian seterusnya setiap 100 kambing zakatnya seekor kambing

* Tidak boleh mengambil zakat berupa pejantan, hewan yang sudah tua sekali, cacat atau paling buruk.
* Tidak boleh mengambil zakat berupa hewan pincang, hewan betina yang mau melahirkan, hewan potong atau hewan termahal.

Tabel Zakat Onta

Dari Sampai
005 sampai 009 nisabnya 1 Kambing
010 sampai 014 nisabnya 2 Kambing
015 sampai 019 nisabnya 3 Kambing
020 sampai 024 nisabnya 4 Kambing
025 sampai 035 nisabnya 1 Bintu Makhadh
036 sampai 045 nisabnya 1 Bintu labun
046 sampai 060 nisabnya 1 Hiqqah
061 sampai 075 nisabnya 1 Jad’ah
076 sampai 090 nisabnya 2 Bintu Labun
091 sampai 120 nisabnya 2 Hiqqah
121 seterusnya nisabnya 3 Bintu Labun

Kemudian setiap 40 onta zakatnya satu Bintu Labun dan setiap 50 onta zakatnya 1 Hiqqah.

*Bintu Makhadh adalah onta yang telah berumur satu tahun, dinamakan seperti itu karena induknya sedang hamil.
*Bintu Labun adalah onta yang telah berumur dua tahun, dinamakan seperti itu karena induknya sedang menyusui lagi.
*Hiqqah adalah onta yang telah berumur tiga tahun, dinamakan seperti itu karena sudah mampu dan berhak dikendarai.
*Jad’ah adalah onta telah yang berumur empat tahun

Tabel Zakat Sapi

Dari Sampai
30 sampai 39 nisabnya 1 Tabii’ atau Tabii’ah
40 sampai 59 nisabnya 1 Musinnah
60 seterusnya nisabnya 2 Tabii’ah

Kemudian setiap tiga puluh sapi zakatnya satu tabi’i dan setiap empat puluh sapi satu Musinnah.

* Tabii’ atau Tabii’ah adalah sapi yang telah berumur satu tahun.
* Musinnah adalah sapi yang telah berumur dua tahun.

10- Zakat Madu Tawon

Jika hasil madu mencapai nisab seberat 670 kg, maka harus dikeluarkan zakatnya sebesar 10 % dari berat bersih madu setelah dipotong biaya produksi.
Suatu contoh: Zakat 1000 kg madu adalah:
1000 kg x 10/100 = 100 kg.

11- Zakat Barang Tambang

Hasil tambang dan minyak serta gas bumi hasilnya harus disalurkan ke Baitul Mal untuk kepentingan umum dan kebutuhan ummat. Jika ada seseorang atau perusahaan diberi kesempatan menambang dan mengolah barang tambang tersebut, maka dia harus mengeluarkan zakat sebesar 2½ % dari penghasilan yang telah dikelola. Termasuk kelompok barang tambang yaitu seluruh bahan bangunan seperti batu atau pasir, juga harus dikeluarkan zakatnya sebesar 2½ % dari hasil yang telah diperoleh.*9

*9 Zakat hasil tambang tidak disyaratkan putaran haul (tahun), wajib mengeluarkan zakat pada saat barang tambang telah selesai proses pengolahan.

12- Zakat Hasil Laut dan Perikanan

Jika seorang nelayan atau perusahaan pengolah hasil laut menangkap ikan kemudian hasil tersebut dijual, maka dia wajib mengeluarkan zakat seperti zakat niaga yaitu 2½% (*10) demikian itu bila hasilnya telah sampai senisab seperti nisabnya mata uang. Suatu contoh: Suatu perusahaan penangkap ikan menghasilkan satu ton, kemudian dijual kepada konsumen seharga Rp.4.000.00,-, berapa zakat yang harus di bayar. (*11)
Zakatnya: Rp.4.000.000,- x 25/1000 = Rp.100.000,-

*10 Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad seperti yang telah disebutkan dalam kitab Al-Mughni 3/28.
*11 Artinya nilai jual ikan seharga nisabnya mata uang yaitu 85 gr emas

13- Zakat Fitrah

A. Setiap muslim wajib membayar zakat fitrah setelah matahari terbenam akhir bulan Ramadhan dan lebih utama jika dibayarkan sebelum keluar shalat Idul Fitri dan boleh dibayarkan dua hari sebelum hari raya *12 , demi menjaga kemaslahatan orang fakir.
Dan haram mengakhirkan pembayaran zakat fitrah hingga habis shalat dan barang siapa melakukan perbuatan tersebut, maka harus menggantinya.*13

B. Seorang muslim wajib membayar zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya seperti isterinya, anaknya, dan pembantunya yang muslim. Akan tetapi boleh bagi seorang isteri atau anak atau pembantu membayar zakat sendiri.

C. Kadar zakat fitrah yang harus dibayar*14 adalah satu sha’ dari makanan pokok negara setempat, dan satu sha’ untuk ukuran sekarang kira-kira 2,176 kg (ketentuan ini sesuai makanan pokok gandum). Dan kita bisa menggunakan tangan untuk menjadi takaran dengan cara kita penuhi kedua telapak tangan sebanyak empat kali. Karena satu mud sama dengan genggaman dua telapak tangan orang dewasa dan satu sha’ sama dengan empat mud.

Contoh: Seseorang mempunyai satu isteri dan empat orang anak serta satu pembantu muslim, berapa dia harus membayar zakat fitrah untuk mereka ?

Dengan ukuran sha’ dia harus membayar 7 x 1 sha’ = 7 sha’
Dengan takaran atau timbangan sekarang berupa gandum: 7 x 2,176 kg = 15,232 kg atau lima belas kilo dua ratus tiga puluh dua gram.
Dan dengan kita meraup gandum dengan dua telapak tangan: 7 x 4 = 28 kali raupan dari makanan pokok baik berupa korma, gandum, anggur kering, susu kering, jagung atau beras.

D. Dianjurkan mengeluarkan zakat dengan makanan*15 , Imam Abu Hanifah membolehkan membayar dengan uang dan ini pendapat yang lebih mudah terlebih bagi lingkungan industri.*16

Kadar nilai zakat disesuaikan dengan harga makan-an pokok masing-masing negara, jika seseorang ingin membayar zakat dengan korma sebanyak dua puluh kilo, maka hendaknya dia harus menanyakan harga korma per kilo untuk ukuran korma sedang, lalu dihitung dengan mata uang setempat.

*12 Menurut madzhab Hambali boleh mengeluarkan zakat setelah pertengahan bulan Ramadhan, pendapat ini lebih mempermudah khususnya bagi negara yang menangani langsung pembayaran zakat fitrah, atau jika yg menangani itu yayasan-yayasan sosial, sehingga mempermudah mereka dalam pengumpulan & pembagiannya pd hari Ied.

*13 Lihat Nailul Authar, 4/195. Fiqhuz Zakah: 1/155.

*14 Dalam zakat fitrah tidak mengenal nisab, di saat ada kelebihan dari kebutuhan makanan pada malam hari raya untuk dirinya dan keluarganya, maka seseorang wajib membayar zakat fitrah.

*15 Para ulama madzhab tiga (Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad) tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang.

*16 Fiqhuz Zakah , 1/949.

Penulis pernah membuat semacam ide yg disampaikan lewat mimbar pd tahun 1404 H. hendaknya zakat fitrah dikelola oleh pemerintah atau Lembaga Islam kemudian disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan baik di dalam maupun luar negeri khususnya negara-negara yang terkena krisis seperti negara Afrika atau Asia yang banyak menderita kelaparan. Apalagi kristenisasi sangat gencar dengan berkedok bantuan sosial berupa makanan atau obat-obatan untuk bantuan kelaparan dan bencana alam dimanfaatkan untuk pemurtadan sehingga banyak di antara kaum muslim in yang keluar dari Islam hanya karena sesuap nasi seperti yang terjadi di Indonesia.

Jika zakat fitrah tersebut bisa dikumpulkan setelah pertengahan bulan Ramadhan, maka sangat mungkin zakat fitrah tersebut disalurkan kepada yang berhak pada waktu itu juga. Dengan demikian pada saat hari raya orang-orang kelaparan bisa merasa kenyang dan kecukupan, bila tidak apa mungkin seseorang dipaksa bergembira di hari raya sementara kelaparan melilitnya.

Yang Berhak Menerima Zakat itu antara lain :

- Kefaqiran dan Kekurangan
- Orang yang Tidak Mampu Bekerja dan Pengangguran yang Terpaksa
- Biaya Pengumpulan dan Pembagian Zakat
- Orang yang Diharapkan Keislamannya
- Pemerdekaan Budak dan Pembebasan Sandera
- Membayar Utang Orang-orang yang Terhimpit utang
- Jihad dan Perang di Jalan Allah
- Orang yang Sedang Bepergian dan Mendapat Kecelakaan

* Fakir adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk para pegawai kelas rendah yang berpenghasilan kecil.

* Miskin adalah orang yang tidak mampu berusaha atau berkarya lagi*17 karena cacat atau gangguan lain seperti orang buta, lumpuh atau pengangguran yang tidak terelakkan.

* Amil pengelola zakat yaitu orang yang diangkat oleh pemerintah untuk menangani pengumpulan, penghitungan dan pembagian zakat.

* Mu’allaf adalah orang yang diharapkan keIslamannya atau orang yang goyah keislamannya. Boleh memberikan zakat kepada non muslim yang terlihat ada kecenderungan terhadap Islam atau orang-orang yang baru masuk Islam agar tetap teguh dalam memeluk Islam.

* Budak untuk sekarang ini bagiannya boleh disalurkan untuk melepas tawanan atau sandera*18 Islam yang ditawan oleh musuh Islam sebagaimana pendapat Imam Ahmad.

* Gharim adalah orang yang terhimpit oleh utang sementara tidak ada harta untuk pengembalian utang tersebut, dengan syarat hutang tersebut untuk keperluan hal-hal yang mubah.

* Fi Sabilillah adalah orang-orang yang tertahan di medan jihad dalam rangka menegakkan agama Allah.

* Ibnu Sabil adalah orang yang sedang bepergian yg tidak mampu melanjutkan perjalanan karena sedang kehabisan bekal, kehilangan atau kecopetan, termasuk juga anak-anak jalanan dan gelandangan.

(A). Dalil syar’i

Dalil syar’i dari pembagian kelompok di atas berdasarkan firman Allah : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yg diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (At-Taubah: 60)

(B). Orang-orang yang tidak boleh menerima zakat

- Orang kaya, yaitu orang yg berkecukupan atau mempunyai harta yg sampai nisab.

- Orang yang kuat yang mampu berusaha untuk mencukupi kebutuhannya dan jika penghasilannya tidak mencukupi, maka boleh mengambil zakat.

- Orang kafir di bawah perlindungan negara Islam, kecuali jika diharapkan untuk masuk Islam.

- Bapak ibu atau kakek nenek hingga ke atas atau anak-anak hingga ke bawah atau isteri dari orang yg mengeluarkan zakat, karena nafkah mereka di bawah tanggung jawabnya. Dibolehkan menyalurkan zakat kepada selain mereka seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dan bibi dengan syarat mereka dalam keadaan membutuhkan.

Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam menyalurkan zakatnya dan berusaha sesuai dengan anjuran syari’at, setelah berusaha dan berhati-hati ternyata keliru atau kurang tepat, maka dia dimaafkan dan tidak diperintahkan untuk mengulangi dalam membayar zakat tersebut. Jika tidak berhati-hati dalam menyalurkan zakatnya kemudian ternyata salah penempatan tidak sampai pada yang berhak, maka dia wajib mengulangi dalam membayar zakat.

Menurut ijma’ para ulama dibolehkan menyalurkan zakat ke daerah lain asalkan daerah tempat tinggalnya sudah tidak membutuhkan lagi. Jika memang kondisi sangat membutuhkan seperti salah seorang kerabat yang tinggal di daerah lain membutuhkan atau daerah lain lebih membutuhkan karena kemiskinan atau kelaparan seperti yang terjadi di Afrika atau jihad di Afganistan atau kemiskinan yang terjadi di Banglades.

Dibolehkan mendahulukan pembayaran zakat dua tahun sebelum datang waktu haul (putaran tahun zakat)*19. Ada pun mengakhirkan setelah datang waktu pembayaran tidak boleh, kecuali ada maslahat tertentu yang jelas, seperti mengakhirkan pembayaran zakat karena menunggu orang fakir yang sedang merantau jauh atau kerabat yang sedang membutuhkan. Zakat tidak gugur karena ditunda-tunda, barang-siapa yang bertahun-tahun tidak membayar zakat, maka dia harus membayar zakat seluruh tahun yang telah berlalu dan belum dibayarkan zakatnya. Sebaiknya seseorang yang memberikan zakat kepada orang fakir tidak memberitahukan kepadanya bahwa pemberian tersebut adalah harta zakat, demikian itu untuk menjaga perasaannya. Sebagian ulama *20 membolehkan membayar zakat dengan piutang, artinya jika seseorang mempunyai piutang pada orang lain sementara orang tersebut susah hidup, maka boleh piutang tersebut dibebaskan sebagai zakat yang dibayarkan kepada orang tersebut karena demikian itu sama halnya membayar zakat kepada orang yang sedang membutuhkan.

*17 Miskin diambil dari kata sukun yang berarti tidak mampu bergerak.

*18 Jika ada budak, maka zakat digunakan untuk memerdekakan budak.

*19 Demikian itu berdasarkan tindakan Abbas yang pernah mendahulukan pembayaran zakat pada zaman Rasulullah. Madzhab Hanafi tidak memberi batasan tahun yang boleh didahulukan (lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 2/29-30).

*20 Diantara mereka adalah Al Hasan Al Basr, ‘Atha’ & Ibnu Hazm, lihat Al-Muhalla, 5/105

Zakat adalah kewajiban agama yang memiliki aturan yang sangat teliti dan cermat dari mulai sumber pemasukan atau harta yang wajib dizakati hingga pihak-pihak yang berhak menerimanya. Zakat sangat berbeda dengan pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah karena hasil pajak dibelanjakan untuk kepentingan umum sehingga tidak bisa pajak disamakan dengan zakat atau dianggap seperti membayar zakat. Rasa keadilan yang terdapat pada syari’at wajib zakat antara lain : Membebaskan harta yang kurang dari senisab dari kewajiban zakat. Islam menghindari pembayaran zakat dobel sebagaimana sabda Rasulullah :”Janganlah kalian menarik zakat berulang kali”. Artinya dobel dua kali. (HR.Abu Ubaidah di Kitab Al Amwal). Suatu contoh: Seorang pedagang membeli lima onta, maka dia hanya wajib membayar zakat sekali saja atau satu jenis zakat yaitu memilih salah satu di antara membayar zakat perniagaan yaitu 2½ % atau membayar zakat peternakan yaitu satu kambing.

Syari’at zakat menghargai jerih payah dalam memberi beban pembayaran zakat, barangsiapa yang mengeluarkan jerih payah dalam bercocok tanam, maka dia wajib mengeluarkan zakat 5% saja dan jika pengairan ladang didapatkan dari air hujan, maka zakatnya 10%. Dan zakat barang tambang (temuan) adalah 20% jika mendapatkannya tanpa susah payah. Islam tidak mewajibkan zakat terhadap barang-barang perabot perlengkapan rumah tangga selagi tidak di pergunakan untuk perniagaan.

Demikianlah kelebihan syari’at Islam yang penuh dengan keadilan, karena syari’at Islam adalah syari’at yang penuh dengan nilai rahmat dan kemudahan. – [Penulis : Adil Rasyad Ghanim)

(Referensi : Asy-Syarhul Kabir: Al-Allamah Ahmad bin Muhammad Al-’Adawy (Ad-Dardiry) Hasyiyah Ad-Dasuqi: Muhammad bin Arfah Al-Dasuqi. Nailul Authar Syarh Muntaqal Akhbar: Imam Syaukani juz I, tahqiq Mustafa Albabi Alhalbi. Al-Mughni: Syaikhul Islam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Al-Muhalla: Imam Ibnu Hazm Al Andalusi. Raddul Muhtaar ‘ala Durril Mukhtaar: Muhammad Amin (Ibnu ‘Abidin). Fiqhuz Zakah: Dr.Yusuf Qaradhawi. Minhajul Muslim: Syaikh Abu Bakar Al Jazairy. Fiqhus Sunnah: Syaikh Sayid Sabiq).

Harap Cantumkan Dicopy dari : Website “Yayasan Al-Sofwa” Jl.Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta – Selatan (12610) Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26 www.alsofwah.or.id ; E-mail: info@alsofwah.or.id
Dilarang Keras Memperbanyak Buku ini untuk diperjual belikan !!!

(Note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 026/th.03/Ramadhan-Syawal 1427H/2006M)

PENTING : Apabila saudara ingin belajar menghitung zakat sendiri, silahkan download kalkulator zakat berikut : http://www.freewebtown.com/herisetiawan/softwares/zakat.exe

6 Komentar | Tatacara (fiqih), edisi-026 | Ditandai: edisi - 026, Tatacara (fiqih) | Permalink
Ditulis oleh labbaik
Bersyahadat Tapi Tidak Melaksanakan Syariat Islam
April 30, 2007

Pertanyaan:

Apakah orang yang bersyahadat tapi tidak melaksanakan syariat, seperti sholat, zakat, haji, dll, masih disebut islam, sehingga memperoleh hak-haknya seperti kalau meninggal di sholatkan, mohon dijelaskan bagaimana kalau hal itu terjadi karena kondisi seperti ini sudah sangat banyak dijumpai pada seorang muslim, tinggal di negeri kafir, atau di negeri muslim sendiri.

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi WabaraktuhAlhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’ad. Syarat masuk islamnya seseorang adalah mengucapkan syahadat yaitu kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang berhak disembah dan bahwa Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Kalau kesaksian itu dilakukan dengan jujur dari lubuk hati yang paling dalam, maka syah sudah keislaman seseorang. Selebihnya, dia wajib menerima dan mengakui semua kewajiban yang Allah Subhanahu Wa ta`ala bebankan. Melaksanakan kewajiban shalat 5 waktu, kewajiban untuk membayar zakat. Berikutnya adalah kewajiban puasa bulan Ramadhan dan pergi haji bila mampu. Keempat perkara ini wajib diterima dan diakui sebagai fardhu/kewajiban dirinya sebagai seorang muslim. Mengingkari kewajiban keempat hal ini jelas membatalkan syahadat yang telah dilakukan. Namun para ulama pun membedakan antara orang yang mengingkari kewajiban dengan tidak mengerjakannya tetapi masih meyakini kewajiban itu. Misalnya adalah seorang muslim yang shalatnya jarang-jarang. Selama dia masih mengakui kewajiban shalat itu, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai kafir atau murtad. Sebab mungkin saja dia malas, lalai atau punya sebab lainnya. Tentu kalau tidak shalat maka dia berdosa besar, namun belum sampai membuatnya berubah status menjadi kafir. Demikian juga zakat, ketika ada orang yang tidak mau bayar zakat karena berlaku curang dalam penghitungannya, maka orang ini berdosa besar. Namun selama dia tidak mengingkari kewajiban itu, dia belum divonis kafir. Kecuali bila secara tegas dia mengingkari adanya kewajiban zakat, maka hakim secara resmi berhak menjatuhkan vonis kafir kepadanya. Sebagaimana dahulu Abu Bakar ketika menjadi khalifah memutuskan bahwa kaum yg mengingkari kewajiban zakat sebagai kafir dan langsung diperangi serta halal darahnya.

Disini yang perlu diperhatikan adalah ketegasan perbedaan antara tidak melakukan sebuah kewajiban dengan mengingkari eksistensi kewajibannya itu sendiri. Ini adalah dua hal yang berbeda secara nyata. Lalu bila seseorang memang nyata-nyata mengingkari kewajiban rukun Islam, atau satu ayat saja dari ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem atau sunnah nabawiyah yang shahih, maka untuk menjatuhkan vonis kafir baginya haruslah melalui prosedur mahkamah syar`iyah. Disitu nanti hakim akan memanggil yang bersangkutan untuk diwawancarai dan dikonfirmasi penyelewengan aqidahnya. Bila memang secara nyata dia mengakui telah ingkar kepada semua kewajiban itu, maka kepadanya dilakukan istitabah, yaitu diberi waktu untuk bertobat beberapa waktu. Ini adalah kesempatan kepadanya untuk berpikir ulang atas penyelewangan pemahamannya itu. Bila masa yang diberikan telah lewat dan dia tetap kokoh pada keingkarannya, jatuhlah vonis kafir dan saat itu dia dianggap murtad. Maka halal darahnya secara hukum karena itu dia bisa dijatuhi hukuman mati. Ini adalah ketegasan hukum Islam kepada orang yang telah menyatakan syahadat tapi ingkar kepada rukun Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :”Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga alasan : Orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad yang lari dari jamaah”. Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang menyalahi agamanya dengan agama Islam (murtad), maka penggallah lehernya. (HR At-Thabarani). Dari Jabir ra bahwa seorang wanita bernama Ummu Marwan telah murtad, maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk menawarkan kembali Islam kepadanya, bila dia tobat maka diampuni tapi bila menolak maka wajib dibunuh. Ternyata dia menolak kembali ke Islam maka dibunuhlah wanita itu. (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Baihaqi).

Selain itu ada pesan Rasulullah SAW kepada Mu’adz bin Jabal sebelum berangkat ke Yaman, “Siapa pun laki-laki yang murtad dari Islam, maka mintalah mereka untuk kembali. Bila mau menurut, maka bebas hukuman. Dan bila menolak, maka penggallah leher mereka. Siapa pun wanita yang murtad dari Islam, maka mintalah mereka untuk kembali. Bila mau menurut, maka bebas hukuman. Dan bila mereka menolak maka penggallah leher mereka. Demikian juga praktek yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Shiddiq ra. Ketika beliau mendengar ada kelompok masyarakat arab yang ingkar tidak mau membayar zakat serta murtad, maka Abu Bakar As-Shiddiq ra menyatakan perang terhadap mereka. Ini adalah keputusan yang beliau ambil secara yakin meski pada dasarnya perangai beliau lembut, ramah dan penyayang. Namun karena memang demikian ketentuan Allah SWT terhadap para pembangkang, maka apa boleh buat, syariat harus ditegakkan. Apa yang dilakukan oleh beliau juga didukung seluruh lapisan shahabat Rasulullah SAW radhiyallaahu anhum. Sehingga hukuman mati buat orang murtad merupakan ijma’ seluruh umat Islam saat itu. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthuny meriwayatkan bahwa Abu Bakar ra meminta seorang wanita bernama Ummu Qurfah untuk kembali dari kemurtadannya (istitabah) dimana sebelumnya telah kafir dari keislamannya, namun wanita itu menolak, maka beliau membunuhnya. Hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa syariat Islam tidak terlalu mudah untuk langsung memenggal kepada orang yang murtad. Harus ada proses istitabah, yaitu proses dimana hakim memintanya untuk kembali dari kemurtadannya selama masa waktu tertentu. Juga sekalian diancam hukuman mati agar segera berpikir ulang atas tindakannya. Selain itu bisa jadi seolah seseorang itu murtad dari Islam, namun setelah diklarifikasi, ternyata tindakannya tidak sampai mengeluarkannya dari agama Islam.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

[Sharia Consulting Center (SCC) - Pusat Konsultasi Syari'ah]http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/9653

Umat Islam Hendaknya Antisipasi Pemurtadan

BANDUNG, (PR).- Mengantisipasi pemurtadan dalam segala bentuknya adalah kewajiban seluruh umat Islam. Sejauh ini, upaya pemurtadan telah menggunakan berbagai modus penipuan dan pelanggaran kebebasan hak. Demikian terungkap dalam “Diklat Antisipasi Pemurtadan” yang digelar Divisi Anti Pemurtadan (DAP) Badan Koordinasi Ummat Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), Sabtu (28/2), di RSG Masjid Al-Fajr Jln. Situsari Bandung.Pada diklat yang dihadiri ratusan peserta itu terungkap adanya berbagai upaya pemurtadan terhadap umat Islam. Oleh karenanya Ketua FUUI K.H. Athian Ali M. Dai, M.A. dalam presentasinya berjudul “Antisipasi Pemurtadan Menurut Syariat Islam”, menyatakan upaya mengantisipasi pemurtadan dalam segala bentuknya adalah kewajiban seluruh umat Islam. “Kita semua harus berjuang sesuai bakat dan kemampuan masing-masing,” tegas Athian.Sejalan dengan itu, Sekjen Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA) Jakarta Drs. Abu Deedat Shihab M.H., mengungkap fakta-fakta terbaru perihal semakin brutalnya cara-cara pemurtadan. “Saya memiliki data-data yang siap dipertanggung-jawabkan secara hukum, di antaranya mengenai pemurtadan yang menggunakan modus penipuan dan pelanggaran kebebasan hak,” tandas Abu Deedat Shihab, sambil menambahkan bahwa hal itu merupakan tindakan kriminal. Pada kesempatan itu juga dibahas implikasi pelanggaran KUHP Pasal 15a dalam sejumlah fakta pemurtadan. “Dari jalur hukum, TPM siap memback-up kegiatan-kegiatan DAP FUUI,” ungkap Qadhar Faisal, S.H., yang hadir mewakili Ketua Tim Pembela Muslim Pusat Muhammad Mahendradatta, S.H. Diklat yang sedianya akan berlanjut dengan dua tahap berikutnya itu dihadiri 704 orang di antaranya dari Karawang, Jakarta, Sukabumi, Purwakarta, Cianjur, Ciamis , Indramayu, Tasikmalaya, Pekalongan, dan Jambi.

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0304/03/0306.htm

keterangan : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 027/th.03/DzulQoidah – DzulHijjah 1427H/2006M

Tinggalkan sebuah komentar » | Tatacara (fiqih), edisi-027 | Ditandai: edisi - 027, Tatacara (fiqih) | Permalink
Ditulis oleh labbaik
Hukum Murtad
April 30, 2007

PERTANYAAN :

Assalamu’alaikum Wr. Wb.Akhir-akhir ini banyak sekali terdengar adanya upaya pendangkalan aqidah dan pemurtadan, baik di barak-barak ataupun di dalam masyarakat. Menurut berita, ini dilakukan oleh LSM dan NGO dalam ataupun luar negeri, malah menurut berita, MPU-NAD pun sudah pernah memanggil dan menasehati mereka. Meskipun demikian, yang ingin saya tanyakan adalah: apakah hukumnya seseorang murtad dan adakah sanksi syar’i khusus yang dikenakan atasnya. Atas penjelasan dan jawaban Ustadz yang lengkap dengan dalil serta maraji’, saya ucapkan banyak terima kasih.Wassalam – Muhammad Daud, Kuala Simpang, Aceh Timur.

JAWABAN :

Wa’alaikumus Salam, Wr. Wb.Saudara Muhammad Daud, yth.

Memang upaya pemurtadan ini sudah jelas-jelas ada, ditandai dengan alat bukti yang banyak disita oleh masyarakat dan LSM yang ingin benar-benar membela ‘aqidah Islamiyah. Kemudian, mengenai pandangan Islam tentang riddah dan sanksi yang yang dikenakan atas orang murtad, jawabannya adalah sebagai berikut: Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman agar selalu berpegang pada aturan Islam, sesuai firman-Nya, artinya: “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya” (Al-Baqarah: 208). Ini adalah karena Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah yang lurus dan benar sebagaimana difirman kan Allah SWT dalam surat Ar-Ruum: 30. Orang yang murtad adalah orang Islam yang keluar dari agamanya, juga berarti telah menentang aturan paten, seluruh alam dari langit, bumi, hewan dan tumbuhan yang diciptakan agar senantiasa tunduk dan patuh hanya kepada Allah saja, sebagaimana difirmankan, artinya: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi baik secara sukarela ataupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan” (Ali Imran: 83)

Jikalau hukum bikinan manusia yang disana-sini banyak kekurangan dan kontroversi mengharuskan adanya sanksi dan hukuman bagi pelanggarnya maka bagaimana lagi dengan orang yang menentang hukum Allah dan berusaha lepas darinya, padahal ia adalah sebaik-baik hukum secara mutlak? Oleh karena itu Allah pun mensyari’at-kan adanya penegakan hudud, termasuk hadd (sanksi) bagi pelaku riddah (murtad). Hal ini semata-mata karena adanya tujuan syar’i yang sangat penting dan agung yaitu terjaganya agama (Islam). Dialah Yang Maha Bijaksana dalam menentukan syari’at dan hukum, Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya, Maha Mengetahui terhadap perkara-perkara yg membawa maslahat bagi makhluk-Nya baik di dunia maupun di akhirat.

Adapun pengertian riddah, atau murtad adalah sebagai berikut: Menurut Al Kasani al Hanafi bahwa sudah termasuk murtad orang-orang yang melontarkan kalimat kufur dengan lisan setelah adanya iman, jadi riddah adalah kembalinya seseorang dari keimanan kepada kekufuran. Ash Shaawi al Maliki berkata: “Riddah adalah kufurnya seorang muslim dengan ucapan terang-terangan, atau ucapan yang menjurus kepada kekafiran atau mengerjakan sesuatu yang mengandung kekufuran. Sedang menurut Asy Syarbaini asy Syafi’i, riddah adalah memutuskan atau melepaskan diri dari Islam dengan niat ataupun perbuatan, demikian pula ucapan baik yang berupa olok-olok, penentangan ataupun berbentuk keyakinan. Adapun Al Bahuti al Hanbali berpendapat bahwa orang murtad menurut syara’ yaitu orang yang ingkar (kufur) setelah keislamannya, baik berupa ucapan, keyakinan, keraguan ataupun perbuatan. Dari pengertian dan penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa riddah (murtad) adalah kembali atau berbaliknya seseorang dari keimanan. Dan secara bahasa ia memang memiliki arti kembali sebagaimana difirmankan oleh Allah, artinya: “Dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kpd musuh).” (Al – Maidah: 21).

Berbaliknya seorang dari Islam dapat berbentuk i’tiqad (keyakinan), ucapan dan perbuatan, dan ini sejalan dengan pengertian iman yang juga mencakup keyakinan hati, ucapan lisan dan perbuatan anggota badan. Atau secara rinci bentuk riddah dapat kita jabarkan sebagai berikut:

1. Riddah dengan ucapan hati seperti mendustakan wahyu yang diturunkan Allah seperti tidak mengimani bahwa semua ayat Quran itu kalamullah atau berkeyakinan adanya Pencipta selain Allah dsb.

2. Riddah dengan perbuatan hati seperti membenci Allah dan Rasulullah-Nya, sombong dan enggan mengikuti perintah Rasul Saw.

3. Riddah dengan ucapan lisan seperti mencela Allah atau mencela Rasulullah, berolok-olok terhadap agama dan sebagainya.

4. Riddah dengan perbuatan anggota badan seperti sujud kepada berhala, menghina Mushaf Al Qur’an dan lain sebagainya.

Hukuman bagi orang murtad (pelaku riddah) atau adalah dapat dikenakan hukuman bunuh (mati) tentunya setelah melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penetapan oleh Mahkamah Syar’iyah. Eksekusinya tentunya setelah ada ketetapan berkekuatan hukum. Shahibul Fatwa berkata: “Sesungguhnya jikalau pelaku murtad itu tidak dihukum mati maka tentu setiap orang yang memeluk Islam akan (seenaknya, red) keluar dari Islam. Hukuman (mati) tersebut tidak lain adalah untuk menjaga pemeluk Islam dan juga agama Islam. Hal ini untuk mencegah orang dari main-main dalam agama dan dengan leluasa dan seenaknya keluar darinya.” Orang murtad yang dihukum mati itu tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Juga tidak berhak saling waris mewarisi dengan kerabatnya yang muslim serta hartanya merupakan harta fai’ (rampasan namun bukan karena perang) diserahkan kepada Baitul Mal untuk pengelolaannya.

Diantara dalil yang menunjukkan pensyari’atan hukuman mati bagi orang murtad adalah hadits riwayat Imam al Bukhari, bahwasannya Ali bin Abi Thalib ra pernah menghukum orang zindik dengan cara membakar. Lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abbas ra, maka ia berkata: “Kalau saja aku pada di tempatmu, maka aku tidak membakar mereka, karena larangan Nabi: “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah.” Dan yg aku lakukan adalah membunuh mereka sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang mengganti agamanya (murtad, red) maka bunuhlah ia.” Maksud dari mengganti agama adalah mengganti Islam dengan agama lain, sebab pada dasarnya agama itu hanyalah Islam, sebagaimana firman Allah, artinya: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya.” (Ali Imran: 85).Para shahabat senantiasa memegang teguh hukum ini, seperti tersebut dalam sebuah riwayat ketika Muadz bin Jabal mengunjungi Abu Musa Al Asy’ari (ketika itu keduanya sama-sama menjadi Amir di Yaman) ia melihat ada seorang laki-laki yang sedang diikat, maka Muadz bertanya: “Siapakah orang ini?”, Abu Musa menjawab: “Ia dulu seorang Yahudi, kemudian masuk Islam namun kini berbalik lagi menjadi Yahudi. Abu Musa melanjutkan: “Silakan duduk!”. Muadz lalu menjawab: “Tidak! Aku tidak akan duduk sehingga hukum Allah dan RasulNya ditegakkan untuk orang ini,” (ia mengucapkan ini tiga kali). Maka di putuskanlah perkara orang tersebut dan akhirnya dihukum mati. (Riwayat Al Bukhari). Dalam Al Bidayah, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa-peritiwa di tahun 167 H diantaranya adalah: “Al -Mahdi senantiasa memantau perkembangan para zindik di seluruh penjuru negeri, menghadirkan serta mengadili mereka. Lalu menghukum mati mereka dalam jarak hanya sejengkal dari hadapannya.” Yang tak kalah masyhurnya adalah kisah dihukum matinya Al Hallaj yang mengaku dirinya memiliki sifat ketuhanan serta menyebarkan faham hulul (bersatunya hamba dengan Rabb). Ibnu Katsir menggambarkan bagaimana proses eksekusi terhadap Al Hallaj ini, beliau berkata: “Di datangkan Al Hallaj, lalu dicambuk seribu kali. Setelah itu kedua tangan dan kakinya dipotong dan kepalanya dipenggal. Jasadnya dibakar dan abunya di hanyutkan di sungai Tigris (nama sungai di Irak). Kepalanya ditancapkan di sebuah jembatan kota Baghdad selama dua hari, kemudian dibawa ke Khurasan & dikelilingkan di seluruh penjuru kota.

Riddah model Al Hallaj ini bukan sekadar riddah biasa, namun mengandung pelecehan terhadap Allah dan Rasul-Nya, permusuhan & penghinaan yg mendalam serta hujatan terhadap agama Allah. Untuk zaman kita ini mungkin bisa kita sebut nama Salman Rushdi yang tak kalah kerasnya dalam memusuhi Islam dan menghina agama Allah (meski mengaku muslim). Ibnu Taymiyah berkata: “Riddah itu ada dua macam; riddah mujarradah (murni) dan riddah mughalazhah (kelas berat) yang secara khusus disyariatkan hukuman mati. Kedua-duanya memang terdapat dalil yang menjelaskan diharuskannya hukuman mati bagi pelakunya, hanya saja dalil yang menunjukkan gugurnya hukuman mati dengan bertaubat tidak mencakup kedua kelompok tersebut, tapi hanya untuk kelompok yang pertama yaitu riddah mujarradah (murni). Tinggallah kelompok kedua (riddah mugha lazhah), dimana telah jelas dalil diwajibkannya hukuman mati bagi pelakunya, serta tidak ada nash maupun ijma’ yang menunjukkan gugurnya hukuman mati bagi dia. Qiyas (penyamarataan) dalam hal ini tidak bisa diterima karena adanya perbedaan yang jelas (antara keduanya).” Beberapa penyebab riddah jahil (bodoh) terhadap agama Allah dan lemah dalam berpegang dengan prisip-prisip akidah yang benar. Terutama sekali ketidaktahuan terhadap hal-hal yg menjerumuskan ke dalam kekufuran, serta risiko-risiko orang yg murtad baik sewaktu di dunia maupun di akherat.Menyebarnya faham irja’, bagi mereka (murji’ah) bahwa riddah hanya terjadi dalam masalah i’tiqad saja, tidak mencakup perkataan dan perbuatan, sebagaimana keyakinan mereka bahwa iman itu cukup tashdiq (membenarkan) saja. Bagi mereka orang berkata dan berbuat kekufuran tetap dianggap mukmin karena masih ada keyakinan. Ini sangat berbahaya karena bisa jadi menghina dan mengolok-olok terhadap Allah atau sujud kepada berhala tidak dianggap kekufuran. Terasingnya syari’at Islam di negara-negara yang banyak berpenduduk muslim. Jika syari’at Islam diterapkan, maka orang-orang akan amat berat dan malas mengikutinya, karena mereka mau berbuat semaunya, Na’udzu billahi Min Zaalik. Kekacauan metode berfikir sebagian cendekiawan muslim yang umumnya belajar di negara Barat, maka tak heran dimasa ini banyak pemikir-pemikir yang melontarkan ide aneh seperti Jaringan Islam Liberal dan sejenisnya yang bertentangan dengan prinsip akidah Islam yang lurus. Termasuk faktor yang mendukung terjadinya riddah adalah kurangnya perhatian dari sebagian ulama dan du’aat terhadap masalah ini, dengan alasan sudah ada pihak yang menangani atau menganggap kurang perlu karena masih ada kegiatan yang lain.

Demikian, Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

[Bagi pembaca yang ingin mengkaji masalah ini lebih dalam lagi, dapat merujuk pada kitab-kitab muktabar, antara lain: Al-Fatawa, Lisy-Syaikhul Islam, jilid 20 halaman 102; Fathul Baari jilid 13, halaman 272; Abl-Bidayah Wan Nihaayah Li Ibnu Katsir, jilid 10 halaman 149 dan jilid 11 halaman 143; dan kitab Ash-Shaarimul Masluul, jilid 3 halaman 696., Wallahu A'lamu Bish-Shawaab].

(sumber : Serambi Indonesia, Alamat Redaksi: Jl Raya Lambaro Km 4,5 Tanjung Permai, Manyang PA , Aceh Besar – Banda Aceh. (0651) 635544 (ext: 205, 209, 218, (0651) 637180 redaksi@serambinews.com – Serambi Online sejak 1 Juni 2004).

http://www.serambinews.com/index.php?aksi=bacaislam&konsulid=46

Katakan “MASJID” Bukan “MOSQUE” !

Mosque’ diperoleh dari kata dalam bahasa Spanyol, yaitu “Mosquito” (“Nyamuk”). Dinamakan seperti itu karena saat Perang Salib terjadi, Raja Ferdinand berkata bahwa mereka akan berangkat dan membasmi Muslim “like mosquitoes” (“seperti nyamuk-nyamuk”). Dimana lagi mereka dapat temukan muslim dalam jumlah yang cukup besar untuk dibasmi jika bukan di Masjid?. Lalu tanpa rasa sungkan mereka menyebut “Masjid” sebagai “Mosque”. Maka hindarilah penggunaan kata yang dengan jelas menunjukkan kebencian terhadap islam. Beritakan tentang sejarah dan etimologi (ilmu asal kata) tentang kata ini. Ganti kata itu dengan kata yg memiliki makna yg seharusnya : Masjid, tempat untuk Bersujud. Bukan Mosque, tempat pembasmian!

http://www.icmi.or.id/ind/content/view/37/1

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik, edisi : 027/th.03/DzulQoidah – DzulHijjah 1427H/2006M

Tinggalkan sebuah komentar » | Tatacara (fiqih), edisi-027 | Ditandai: edisi - 027, Tatacara (fiqih), Tauhid (Aqidah) | Permalink
Ditulis oleh labbaik
SYARAT TINGGAL DI NEGERI KAFIR
April 12, 2007



Pembahasan ‘Syarat Tinggal Di Negri Kafir’ merupakan salah satu bagian dari syarah atau penjelasan ‘Kitab Tiga Landasan Utama’ yang ditulis oleh Syaikhul Islam Al-Mujaddid Muhammad At-Tamimi. Allah berfirman, yang artinya :“Hai hamba-hambaKu yang beriman, sesungguhnya bumiKu luas, maka sembahlah Aku saja”. [Al-Ankabut : 56]. Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkata :”Ayat ini turun kepada orang-orang Islam yang tinggal di Makkah dan tidak ikut berhijrah. Allah menyeru mereka dengan sebutan ‘beriman’” [1]. Dalil atas wajibnya hijrah dari adalah sabda Nabi SAW [2] :”Hijrah tidak terhenti sebelum terputusnya taubat dan taubat tidak terputus hingga matahari terbit dari barat” [3]

Untuk melengkapi penjelasan ini perlu disebutkan hukum bepergian ke negara kafir. Saya katakan, bepergian ke negeri kafir tdk diperbolehkan kecuali memenuhi tiga syarat :

Pertama : Hendaknya seseorang memiliki cukup ilmu yg bisa memelihara diri dari Syubhat.

Kedua : Hendaknya memiliki agama yg kuat untuk menjaga agar tidak terjatuh dlm Syahwat.

Ketiga : Hendaknya ia benar-benar berkepentingan untuk bepergian.

Bagi yang belum bisa menyempurnakan syarat-syarat di atas tidak diperbolehkan pergi ke negeri kafir, karena hal itu akan menjatuhkan dirinya ke dalam fitnah yang besar dan menyia-nyiakan harta saja. Sebab orang yang mengadakan bepergian biasanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jika ada suatu keperluan seperti berobat, mempelajari ilmu yang tidak ditemukan di negeri asal, maka hal itu diperbolehkan dengan catatan memenuhi syarat yang saya sebutkan di atas. Adapun masalah rekreasi ke negeri kafir, bukanlah suatu kebutuhan, karena ia bisa saja pergi ke negeri Islam yg menjaga syari’at Islam. Negeri kita ini, alhamdulillah ada beberapa tempat yang cocok dan bagus untuk rekreasi ketika masa liburan.

Adapun masalah menetap atau tinggal di negeri kafir sangatlah membahayakan agama, akhlaq dan moral seseorang. Kita telah menyaksikan banyak orang yang tinggal di negeri kafir terpengaruh dan menjadi rusak, mereka kembali dalam keadaan tidak seperti dulu sebelum berangkat ke negeri kafir. Ada yg kembali menjadi orang fasik atau murtad, bahkan mungkin mengingkari seluruh agama, sehingga banyak dari mereka pulang ke negerinya menjadi penentang dan pengejek agama Islam, melecehkan para pemeluk agama Islam, baik yang terdahulu maupun yang ada sekarang, na’udzubillah. Oleh karena itu wajib bagi yang mau pergi ke negeri kafir menjaga dan memperhatikan syarat-syarat yang telah saya sebutkan di atas agar tidak terjatuh ke dalam kehancuran.

Bagi yang ingin menetap di negeri tersebut, ada dua syarat utama :

Pertama : Merasa aman dengan agamanya. Maksudnya, hendaknya ia memiliki ilmu, iman dan kemauan kuat yang membuatnya tetap teguh dengan agamanya, takut menyimpang dan waspada dari kesesatan. Ia harus menyimpan rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang-orang kafir serta tidak sekali-kali setia dan mencintai mereka, karena setia dan mengikat cinta dengan mereka bertentangan dengan iman. Firman Allah, Artinya :”Kamu tidak mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga mereka” [Al-Mujadilah : 22]

Firman Allah, Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu, termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim, maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasharani) seraya berkata :’Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada rasulNya) atau suatu keputusan dari sisiNya, maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka” [Al-Maidah : 51-52]

Dalam sebuah hadits shahih Nabi SAW bersabda :”Sesungguhnya barangsiapa yang mencintai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka, seseorang selalu bersama dengan orang yang ia cintai” [HR.Bukhari, Kitabul Adab, bab "Tanda Kecintaan kepada Allah Ta'ala", dan Muslim, Kitabush Shilah, bab "Seseorang itu Bersama Orang yang Dicintainya]. Mencintai musuh Allah adalah bahaya yang paling besar pada diri muslim, karena mencintai mereka berarti mengharuskan seorang muslim untuk setuju mengikuti mereka atau paling tdk mendiamkan kemungkaran yg ada pada mereka.

Kedua : Ia mampu menegakkan dan menghidupkan syi’ar agama di tempat tinggalnya tanpa ada penghalang. Ia bebas melakukan shalat fardhu, shalat Jum’at dan shalat berjama’ah jika ada yang diajak shalat berjama’ah dan Jum’at, menunaikan zakat, puasa, haji dan syi’ar Islam lainnya. Jika ia tidak mampu melakukan hal di atas, maka tidak diperbolehkan tinggal di negeri kafir. Karena dalam keadaan seperti ini wajib baginya hijrah dari tempat seperti itu.

Pengarang kitab Al-Mughni (8/457) menyatakan tentang macam-macam manusia yang diwajibkan hijrah. Diantaranya orang yang mampu melakukannya sementara di tempat tinggalnya ia tidak mampu menampakkan agamanya dan tidak bisa menunaikan kewajiban agamanya, maka dalam keadaan seperti ini wajib baginya melakukan hijrah berdasarkan firman Allah, Artinya :”Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (kepada mereka) malaikat bertanya : ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?’. Mereka menjawab :’Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)’. Para malaikat berkata : “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?’. Orang-orang itu tempatnya di Neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An-Nisaa : 97]

Ancaman yang sangat berat dalam ayat ini menunjukkan bahwa hijrah hukumnya wajib, karena melaksanakan kewajiban adalah wajib bagi orang yang mampu melaksanakannya, sedangkan hijrah merupakan salah satu hal yang penting dan pelengkap dari kewajiban agama tersebut. Maka jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan adanya suatu yang lain, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.

Setelah dua syarat pokok tsb bisa terpenuhi maka tinggal di negeri kafir terbagi atas :

a. Ia tinggal untuk tujuan dakwah menarik orang kedalam Islam. Ini adalah bagian dari Jihad dan hukumnya fardhu kifayah bagi yang mampu untuk itu dengan syarat bisa merealisasikan dakwah tersebut dengan baik dan tidak ada yang mengganggu atau menghalanginya, karena berdakwah kepada Islam adalah wajib. Itulah jalan yang ditempuh oleh para utusan Allah. Nabi Muhammad SAW menyuruh umatnya menyampaikan ajaran Islam, walaupun satu ayat, di mana dan kapan saja mereka berada. Nabi SAW bersabda : “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Kitabul Anbiya', bab "Penyebutan Bani Israel"]

b. Ia tinggal untuk mempelajari keadaan orang-orang kafir dan mengenal sejauh mana kerusakan aqidah, kezhaliman, akhlaq, moral dan kehancuran sistim peribadatan orang-orang kafir. Dengan demikian ia bisa memperingatkan orang-orang untuk tidak terpengaruh dan tergiur dengan mereka & ia bisa menjelaskan kepada orang-orang yang kagum dengan mereka. Ini juga termasuk bagian dari jihad, karena bertujuan menjelaskan kehancuran agama orang-orang kafir. Dan ini secara tdk langsung mengajak manusia kembali kepada Islam, karena kerusakan kaum kafir menjadi bukti atas kebenaran agama Islam, seperti disebutkan kata mutiara : “Sesuatu menjadi jelas dengan mengetahui kebalikannya”. Tetapi dengan syarat keinginan terealisir tanpa kemudharatan yang lebih besar daripadanya. Jika tidak terealisir maksud dan tujuan tiggal di negeri kafir seperti tersebut di atas, maka tidak ada faedahnya ia tinggal di negeri kafir. Jika ia bisa merealisasikan maksud dan tujuannya tapi kemudharatan yang ditimbulkan lebih besar, seperti orang-orang kafir membalasnya dengan ejekan, memaki Islam, Nabi SAW dan imam-imam Islam, maka wajib baginya menghentikan kegiatan tersebut berdasarkan firman Allah. “Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikian lah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka, kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” [Al-An'aam : 108]. Termasuk dalam bagian ini adalah orang Islam yang tinggal di negeri kafir untuk menjadi intel (mata-mata) guna mengetahui rencana orang kafir terhadap umat Islam, selanjutnya ia menginformasikan rencana tersebut kepada orang-orang Islam agar berhati-hati dan mengerti tentang tipu daya musuh Islam. Hal ini pernah dilakukan Nabi SAW saat beliau mengirimkan Hudzaifah bin Yaman ke tengah-tengah orang musyrikin di saat perang Khandaq untuk mengetahui keadaan mereka. [Diriwa yatkan oleh Muslim, Kitabul Jihad, bab "Perang Ahzab"]

c. Ia tinggal sebagai duta bangsa atau kepentingan diplomasi dengan negera kafir, seperti menjadi pegawai di kedutaan, maka hukumnya tergantung tujuannya. Seperti atase kebudayaan yang bertujuan memantau dan mengawasi para pelajarnya di negera kafir agar mereka tetap komitmen terhadap agama Islam, baik dari segi akhlaq maupun moral. Dengan demikian tinggalnya di tempat tersebut mendatangkan maslahat yang sangat besar dan mampu mencegah kerusakan besar yang akan terjadi.

d. Ia tinggal untuk kepentingan pribadi seperti berdagang dan berobat, maka di perbolehkan baginya tinggal sebatas keperluan yang ada dan sebagian ulama ada yang membolehkan tinggal di negeri kafir untuk tujuan berniaga berdasarkan sebuah atsar dari sebagian sahabat.

e. Ia tingggal untuk tujuan belajar. Ini seperti bagian sebelumnya yaitu tinggal untuk suatu keperluan, tetapi ini lebih berbahaya dan lebih mudah merusak aqidah dan akhlaq seseorang. Karena biasanya seorang mahasiswa merasa rendah diri dan menganggap tinggi ilmu pengajarnya, sehingga dengan mudah ia terpengaruh pemikiran, pendapat, akhlaq dan moral mereka. Selanjutnya ia mengikuti mereka kecuali orang-orang yang dikehendaki dan dilindungi Allah. Dan ini sangat sedikit jumlahnya. Selanjutnya majasiswa atau pelajar biasanya selalu membutuhkan pengajarnya yang akhirnya ia terikat dengannya dan membiarkan kesesatan karena kebutuhan pada gurunya. Lalu di tempat belajar, biasanya ia memerlukan teman bergaul. Ia bergaul dengan sangat akrab satu sama lain serta saling mencintai. Karena bahaya itulah hendaknya ia berhati-hati.

Bagi pelajar yang ingin tinggal di negeri kafir, di samping memenuhi dua syarat yang sudah disebutkan di atas, ia harus memenuhi syarat-syarat di bawah ini :

1. Seorang yang hendak belajar memiliki kematangan berfikir, bisa memisahkan antara yang bermanfaat dan yang mudharat serta berwawasan jauh ke depan. Adapun pengiriman para pemuda belia yang masih dangkal pemikirannya, maka hal itu sangat berbahaya bagi aqidah, akhlaq, dan moral mereka, juga berbahaya bagi umat Islam. Disaat mereka pulang ke negerinya, mereka akan menyebarkan racun pemikiran yang mereka ambil dari orang-orang kafir, seperti telah banyak kita saksi kan. Para pelajar yang dikirim ke negeri kafir itu berubah sekembali mereka ke negeri masing-masing. Mereka pulang dalam keadaan rusak agama, akhlaq, moral serta pemikirannya, hal yang sangat berbahaya bagi diri mereka sendiri serta masyarakat. Itulah yang kita saksikan secara nyata dan riil. Pengiriman para pelajar seperti mereka ke negeri kafir bagaikan kita menyajikan daging segar kepada anjing yang lagi kelaparan.

2. Seorang yang mau belajar hendaknya memiliki ilmu syari’at yang cukup, agar ia mampu membedakan antara yang benar dengan yang batil, mampu mencerna dan menghindar dari kebatilan agar ia tidak tertipu olehnya sehingga menyangka bahwa hal tersebut benar, atau merasa ragu dan kabur, atau tidak mampu melawan kebatilan tersebut akhirnya menjadi bimbang atau hanyut oleh arus kebatilan.

Dalam sebuh do’a disebutkan, yang artinya :” Ya Allah, perlihatkan kepadaku kebenaran sebagai suatu yang benar lalu berikan kepadaku kekuatan untuk mengikutnya, dan perlihatkanlah kepadaku kebatilan sebagai yang batil dan berikan padaku kekuatan untuk menghindarinya dan janganlah Engkau kaburkan sehingga saya tersesat”.

3. Hendaknya seseorang yang mau belajar memiliki agama yang kuat sehingga bisa membentengi diri dari kekufuran dan kefasikan. Sebab orang yang lemah agamanya tidak mungkin selamat untuk tinggal di negeri kafir tersebut, kecuali yang dikehendaki Allah. Hal itu dikarenakan kuatnya serangan dan pengaruh, sementara yang bersangkutan tidak mampu mengadakan perlawanan. Banyak sekali hal-hal yang menimbulkan kekafiran dan kefasikan. Jika orang tersebut lemah agamanya, tidak memiliki kekuatan untuk melawan pengaruh tersebut, maka dengan mudah kekufuran mempengaruhinya.

4. Ia belajar untuk mengkaji ilmu yang sangat bermanfaat bagi umat Islam yang tidak ditemukan di sekolah-sekolah dalam negeri mereka. Jika ilmu tersebut kurang bermanfaat bagi umat Islam atau bisa di dapat di sekolah-sekolah dalam negeri mereka, maka tidak diperbolehkan tinggal di negeri tersebut untuk tujuan belajar. Karena hal itu sangat berbahaya bagi agama, akhlaq, dan moral mereka. Juga hanya menghambur-hamburkan harta saja dengan tidak ada gunanya.

5. Ia tinggal di negeri kafir untuk selamanya sebagai penduduk asli, ini lebih bahaya dari sebelumnya, karena kerusakan akibat berbaur dengan orang-orang kafir. Sebagai warga negara yang disiplin ia harus mampu hidup bersama-sama dengan anggota masyarakat secara harmonis, saling mencintai dan tolong menolong diantara sesama. Ia juga memperbanyak penduduk negara kafir. Ia terpengaruh dg adat kebiasaan orang kafir dalam mendidik dan mengarahkan keluarganya yang mungkin akan mengikuti aqidah dan cara ibadahnya. Oleh karena itu Nabi bersabda : “Barangsiapa berkumpul dan tinggal bersama orang musyrik, maka ia akan seperti mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Daud, Kitabul Jihad, bab "Tinggal di Negeri Orang-Orang Musyrik]. Hadit ini walaupun dha’if dalam sanad-nya tapi isinya perlu mendapat perhatian. Karena kenyataan berbicara, orang yang tinggal di suatu tempat dipaksa untuk menyesuaikan diri. Dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah sesungguhnya Nabi SAW bersabda :”Saya berlepas diri dari seorang muslim yg tinggal bersama-sama dengan orang-orang musyrik”. Mereka bertanya :”Kenapa wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab :”Tidak boleh saling terlihat api keduanya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitabul Jihad, bab "Larangan Membunuh Orang yang Menyelamatkan Diri Dari Bersujud", dan At-Tirmidzi, Kitabus Siar, bab "Makruhnya Tinggal Di Antara Orang-Orang Musyrik"]. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan kebanyakan para perawi meriwayatkan hadits ini secara mursal dari jalan Qais bin Abi Hazim dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tirmidzi berkata : “Saya mendengar Muhammad (yang dimaksud Al-Bukhari) berkata bahwa hadits Qais dari Nabi SAW diriwayatkan secara mursal”.

Bagaimana seorang muslim merasa tenang hidup dan bertempat tinggal di negeri kafir yang secara terang-terangan syi’ar kekafiran itu dikumandangkan dan hukum yang diterapkan adalah hukum thagut yang memusuhi hukum Allah dan RasulNya, semua itu ia lihat dan ia dengar dengan perasaan rela. Ia merasa tentram tinggal di negeri tersebut layaknya hidup di negeri kaum muslimin dg keluarganya, pada hal ini sangat berbahaya bagi agama & akhlak keluarga serta anak-anak mereka.

Demikianlah yang bisa saya paparkan tentang hukum tinggal di negeri kafir. Saya mohon kepada Allah agar penjelasan saya ini sesuai dengan kebenaran.

—————————————-

[1] Tampaknya pengarang menukil dari ucapan Imam Al-Baghawi Rahimahullah secara makna saja, hal ini jika beliau menukil dari kitab Tafsir Al-Baghawi, karena ternyata di dalam tafsir Al-Baghawi tidak ditemui kalimat seperti yang disebutkan oleh syaikh.

[2] Diriwayatkan oleh Abu Daud, Kitabul Jihad, bab ‘Apakah Hijrah Telah Terputus”, Ahmad, 1/192, Ad-Darimi, Kitabus Siar, bab “Hijrah Belum Terputus”, Al-Haitsami dalam kitab “Majma’uz Zawa’id” 5/250, dia berkata : “Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’i sebagai hadits Mu”awiyah, dan Ahmad dan Ath-Thabrani. Meriwayatkan pula dalam kitab “Al-Awsath” & “Ash-Shagir” riwayat dari selain Ibnu As-Sa’di. Rijal hadits Ahmad kuat”.

[3] Ini sebagai tanda akhir tidak diterimanya amal shaleh, sesuai firman Allah yang artinya :”Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah berman faat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia belum mengusaha kan kebaikan dalam masa imannya” [Al-An'aam : 158]. Yang dimaksud dgn sebagian tanda-tanda Tuhanmu adalah terbitnya matahari dari barat.



(sumber : Disalin dari buku Syrhu Tsalatsatil Ushul, edisi Indonesia Penjelasan Kitab 3 Landasan Utama, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darul Haq hal 228-231, penerjemah Zainal Abidin Syamsudin, Ainul Haris Arifin)



http://assunnah.mine.nu/article/art?action=getArticle&index=27

catatan : artikel di atas telah dimuat dalam Majalah Islami “Labbaik“, edisi : 021/th.02/Safar-Rabi’ul Awwal 1427H/2006M

Tinggalkan sebuah komentar » | Tatacara (fiqih), edisi-021 | Ditandai: edisi - 021, Tatacara (fiqih) | Permalink
Ditulis oleh labbaik
Sikap Anak Kepada Orang Tua Yang Masih Kafir
April 12, 2007



Birrul walidain adalah suatu amalan mulia yang tidak mengenal waktu dan tempat. Ia adalah hal yang paling utama setelah Tauhid kepada Allah karena sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah atas kedua orang tua. Tidak luput juga walau pun keduanya itu masih kafir. Bagaimana kedudukannya dan cara kita birrul walidain kepada mereka ? Bagaimana seorang anak harus bersikap terhadap orang tuanya yang masih kafir ? Kisah Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘anhu dan ibunya dapat dijadikan sebagai pelajaran.



Dalam hadits yg diriwayatkan Imam Muslim [1], Diceritakan bahwa Ummu Sa’ad (ibunya Sa’ad) bersumpah tidak akan berbicara kepada anaknya dan tidak mau makan dan minum karena menginginkan Sa’ad murtad dari ajaran Islam. Ummu Sa’ad mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya berkata, “Aku tahu Allah menyuruhmu berbuat baik kepada ibumu dan aku menyuruhmu untuk keluar dari ajaran Islam ini”. Kemudian selama tiga hari Ummu Sa’ad tidak makan dan minum. Bahkan memerintahkan Sa’ad untuk kufur.

Sebagai seorang anak Sa’ad tidak tega dan merasa iba kepada ibunya. Berkaitan dengan kisah Sa’ad ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu seperti yang terdapat pada surat Al-Ankabut ayat 8, “Dan Kami berwasiat kepada manusia agar berbakti kepada orang tuanya dengan baik, dan apabila keduanya memaksa untuk menyekutukan Aku yang kamu tidak ada ilmu, maka janganlah taat kepada keduanya”. Sedangkan wahyu yang kedua dalam surat Luqman ayat 15, “Dan apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan apa-apa yang tidak ada ilmu padanya, jangan taati keduanya dan bergaullah dalam kehidupan dunia dengan perbuatan yang ma’ruf (baik) dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa-apa yg telah kamu kerjakan”.



Turunnya ayat ini membuat Sa’ad semakin bertambah mantap keyakinannya dan akhirnya Sa’ad membuka mulut ibunya dan memaksa ibunya untuk makan. Dengan demikian Sa’ad tidak berbuat kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga bisa berbuat baik kepada ibunya. Para Ulama mengambil dalil dari ayat ini tentang wajibnya berbakti & bersilaturahmi kepada kedua orang tua meskipun keduanya masih kafir. Kafir yang dimaksud pada permasalahan ini bukan kafir harbi (kafir yang menentang dan memerangi Islam). Jika orang tuanya tidak kafir harbi, tidak menyerang kaum muslimin, maka hendaklah bergaul dengan mereka dengan baik dan bersilatu rahmi kepada keduanya. Hal tersebut didasarkan kepada surat Luqman ayat 14, “Dan bergaullah kepada keduanya dalam kehidupan dunia dengan cara yang ma’ruf”

Kemudian dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang-orang yg tidak menyerang kita. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yg tidak memerangi kamu karena agama. Dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. Kisah ini terjadi pada Asma binti Abu Bakar Ash-Shidiq. Ketika ibunya yang masih dalam keadaan musyrik akan datang untuk berkunjung kepadanya, Asma meminta fatwa kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kamu menyambung silaturahmi kepada ibumu” [2]



Secara fitrah, seorang anak akan mencintai orang tuanya karena merekalah yang melahirkan serta mengurusnya, tapi jika mencintainya karena iman maka tidak dibenarkan. Dengan dasar surat Al-Mujadalah ayat 22, “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung”

Jika keduanya kafir harbi, maka tidak boleh berbakti dan bersilaturahmi kepada keduanya dengan dasar surat Al-Mumtahanah ayat 9, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama. Dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka adalah orang-orang yang zhalim.” Dengan demikian kita tidak boleh berbuat baik kepada orang-orang kafir harbi atas dasar ayat tersebut. Bahkan seandainya bertemu di medan perang, diperbolehkan untuk dibunuh. Hal ini sudah pernah terjadi terhadap Abu Ubaidah Ibnul Jarrah dengan bapaknya pada waktu perang Badar. Bapaknya ikut di medan pertempuran dan berada di pihak kaum musyrikin kemudian Abu Ubaidah membunuhnya.



Selanjutnya mengenai birrul walidain kepada orang tua yang masih kafir. Apakah boleh kita mendo’akan mereka ? Apakah dibedakan orang kafir harbi (orang kafir yg sangat keras permusuhannya terhadap kaum muslimin) dg yg bukan kafir harbi ? . Timbul pertanyaan, “Bolehkah mendo’akan orang tua yang masih kafir ?”. Jawabnya adalah, baik kafir harbi atau bukan kafir harbi tidak diperbolehkan mendoakannya untuk memintakan ampun dan kasih sayang kepada Allah SWT, ketika keduanya masih hidup maupun sdh meninggal. Dasarnya adalah surat At-Taubah ayat 113, Allah SWT berfirman, “Tidaklah sepatutnya bagi Nabi & orang -orang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam”



Ketika Nabi SAW meminta kepada Allah SWT supaya mengampuni dosa ibunya, Allah SWT tidak mengabulkannya karena ibunya mati dalam keadaan kafir [3]. Kedua orang tua Nabi SAW mati dalam keadaan kafir [4] Kalau ada yang bertanya, “Bukankah pada saat itu belum diutus Rasulullah SAW ?”. Saat itu sudah ada millah Ibrahim. Sedangkan kedua orang tua Nabi SAW tidak masuk dalam millah Ibrahim sehingga keduanya masih dalam keadaan kafir [5]. Nabi Ibrahim juga pernah memintakan ampun kepada Allah SWT untuk kedua orang tuanya yang masih kafir, karena pada waktu itu Ibrahim belum tahu dan belum turun wahyu tentang adanya larangan tersebut. Setelah turun wahyu, Ibrahim kemudian menahan diri. Kisah ini bisa dilihat dalam surat At-Taubah ayat 114, “Dan permintaan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah maka Ibrahim berlepas diri daripadanya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya dan lagi menyantun”.

Jika orang tua masih kafir tetapi bukan kafir harbi, maka diperbolehkan mendo’a kan agar mereka diberikan hidayah. Dikatakan oleh Imam Al-Qurtubi, ayat yg ke-8 tadi merupakan dalil tentang tetapnya menyambung tali silaturrahmi kepada orang tua yang masih kafir serta mendo’akan keduanya agar mendapatkan hidayah dan kembali ke jalan yang haq. Walaupun tidak boleh memintakan ampunan dan rahmat kepada orang tua yang masih kafir tetapi masih diperbolehkan memintakan hidayah kepada Allah SWT dan mendakwahkannya jika bukan kafir harbi. Jadi dakwah kepada orang tua yang masih kafir harus tetap dilakukan dan dengan cara yang baik. Dapat kita lihat bagaimana dakwahnya Ibrahim ‘Alaihi Shalatu wa sallam kepada orang tuanya. Beliau mendakwahkan dengan kata-kata yang lemah lembut.





Dakwah kepada orang tua yang masih kafir saja harus dilakukan dengan kata-kata yang lemah lembut, terlebih lagi jika orang tuanya tidak kafir tetapi masih suka melakukan bid’ah, harus didakwahkan dengan kata-kata lebih lemah lembut lagi. Sikap Nabi Ibrahim terhadap bapaknya yang kafir dapat dilihat dalam surat Maryam ayat 41-48, “Ceritakanlah wahai Muhammad kisah Ibrahim di dalam kitab Al-Qur’an, sesungguhnya dia seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi” Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu sedikit pun juga”. “Wahai bapakku sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku niscaya aku akan menun jukkan kamu ke jalan yang lurus”. “Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaithan sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Allah Yang Maha Pemurah”. “Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa adzab dari Allah Yang Maha Pemurah maka kamu menjadi kawan bagi syaitah”. Berkata bapaknya, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku hai Ibrahim jika kamu tidak berhenti niscaya akan aku rajam dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Ibrahim berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu aku akan meminta ampun bagimu kepada Allah sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”. “Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau seru selain Allah dan aku akan berdo’a kepada Rabb-ku mudah-mudahan aku tidak kecewa dengan berdo’a kepada Rabb-ku.”

————-

Catatan Kaki

[1] Juz. IV hal. 1877 no. 1748 (43)

[2] HR.Bukhari dan Muslim]

[3] Haits Riwayat Muslim Kitabul Jazaaiz 2 hal.671 no. 976-977, Abu Dawud 3234, Nasa’i 4 hal. 90 dll

[4] Dalilnya, ada seorang bertanya, “Ya Rasulullah ! Dimana Ayahku” Jawab Nabi SAW, “Ayahmu di Neraka”. Ketika orang itu akan pergi, dipanggil lagi, beliau bersabda, “Ayahku dan ayahmu di neraka” [Hadits Shahih Riwayat Muslim Kitabul Iman I/191 no. 203, Abu Dawud no. 4718 Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 7/190] Pada riwayat yang lain, Nabi SAW berkata kepada kedua anak Mulaikah, “Ibu kamu di Neraka”, keduanya belum bisa menerima, lalu Nabi panggil dan beliau bersabda, “Sesungguhnya ibuku bersama ibumu di Neraka” [Thabrani dalam Mu'jam Kabir (10/98-99 no. 10017), Hakim 4/364.

[5] Lihat, Adillah Mu’taqad Abi Hanifah fil A’zham fii Abawayir Rasul Alaihis Shalatu wa Salam ta’lif Al-’Alamah Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qary (wafat 1014)



http://vbaitullah.or.id/index.php?option=content&task=view&id=423&Itemid=43





SIAPAKAH YANG LAYAK DISEBUT KAFIR ?





Pertanyaan :

Siapakah sebenarnya yang layak dihukumi (disebut) kafir ?





Jawab:

Yang layak disebut kafir ialah orang yang dengan terang-terangan tanpa malu menentang dan memusuhi agama Islam, menganggap dirinya kafir dan bangga akan perbuatannya yang terkutuk. (Jadi) Bukan orang-orang Islam yang tetap mengakui agamanya secara lahir, walaupun dalamnya buruk dan imannya lemah, tidak konsisten antara perbuatan dan ucapannya. Orang seperti itu dalam Islam dinamakan “munafik”.

Di dunia dia tetap dinamakan (termasuk) orang Islam, tetapi di akhirat tempatnya di neraka pada tingkat yang terbawah.

Di bawah ini kami kemukakan golongan (orang-orang) yang layak disebut kafir tanpa diragukan lagi, yaitu :

1. Golongan Komunis atau Atheis, yang percaya pada suatu falsafah dan undang-undang, yang bertentangan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka itu musuh agama, terutama agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.

2. Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekular, yang menolak secara terang-terangan pada agama Allah dan memerangi siapa saja yang berdakwah dan mengajak masyarakat untuk kembali pada syariat dan hokum Allah.

3. Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah, Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan sekitarnya. Al-Imam Ghazali pernah berkata :”Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan batinnya kufur.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata :”Mereka lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sebagian besar mereka ingkar pada landasan Islam.”

Seperti halnya mereka yg baru muncul di masa itu, yaitu yg bernama Bahaiah, agama baru yg berdiri sendiri. Begitu juga golongan yg mendekatinya, yaitu Al-Qadi yaniah, yg beranggapan bahwa pemimpinnya adalah Nabi setelah Nabi Muhammad saw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar